Oleh: Ali Harfouch (Alih Bahasa : Andhika Putra DJ)
Deklarasi Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) mengenai pembentukan Khilafah menghasilkan riak di di seluruh dunia. membentang dari provinsi Diyala, Irak, sampai Aleppo, Suriah, deklarasi ini telah menempatkan ‘Khilafah’ pada peta global dan memancing berbagai respon baik dari muslim maupun non-muslim. Negara Islam (Islamic State, IS) baru ini memanggil seluruh kelompok Islam dan kaum muslimin di seluruh dunia untuk berbaiat dan meminta para doktor, insinyur, pengacara, pakar ekonomi, dan siapapun yang memiliki skill untuk bermigrasi ke tanah Islam dan membantu membangun Khilafah baru. Namun, pengumuman ini telah gagal meraih pusat perhatian yang diharapkan Negara Islam, karena banyak yang mempertimbangkan bahwa kondisi syar’i (untuk deklarasi Khilafah) masih belum terpenuhi, sementara sebagian yang lain sudah lebih dulu skeptis terhadap deklarasi ini. Meskipun ada dukungan luas akan kembalinya Khilafah, tapi ‘Khilafah’ ISIS kesulitan untuk mendapat banyak dukungan dan ada lima alasan kunci untuk itu.
Pertama, kontras dengan opini umum, IS yang dulunya dikenal sebagai ISIS tidak lahir dari kekacauan yang terjadi dari pemberontakan Suriah. Asal-usulnya kembali pada 2003 saat veteran perang Yordania Abu Mus’ab az-Zarqawi membentuk AQI (Al-Qaeda in Iraq) setelah sebelumnya membentuk Jamaah Tauhid wal Jihad pada tahun 1999. Sejak awal, pergerakan az-Zarqawi berselisihan dengan kepemimpinan Al-Qaeda bahkan sebelum kedua kelompok (Jamaah Tauhid wal Jihad dan Al Qaeda) bekerja sama di Irak. Titik perbedaan berputar-putar utamanya pada isu takfir (pengafiran) – implikasi politis dan legal yang mengikuti dari pengumuman dan visinya. Namun, penyatuan kedua gerakan ini bersifat pragmatis. Perbedaan ideologis ini bergandengan dengan pembawaan desentralisasi Al Qaeda, yang memberikan Zarqawi dan gerakan-baru-lahirnya otonomi dan kekuatan yang digunakan untuk membentuk faksi yang kelak akan bersaing dengan Al-Qaeda untuk meraih kepemimpinan. Pada 2006, Zarqawi mengonsolidasikan kekuatannya dengan membentuk payung gerakan jihadi bernama Majelis Syura al-Mujahidin. Tidak lama setelahnya, Zarqawi terbunuh dan pemimpin baru kelompok itu, Abu Umar al-Baghdadi, mendeklarasikan terbentuknya Islamic State of Iraq (Negara Islam Irak, ISI) – dan kemudian Islamic State of Iraq and Levant (Negara Islam Irak dan Syam, ISIS) sampai pada deklarasi Abu Muhammad al-Adnani akan Khilafah, membuat nama organisasi tersebut menjadi hanya Islamic State (Negara Islam, IS). Evaluasi sejarah dari evolusi organisasi ini dan hubungannya dengan Al-Qaeda dan gerakan lain menjelaskan dengan gamblang bahwa pembawaan penipu dan pernyataan ekstrim mengenai ‘Negara Islam’ bukanlah hal yang baru.
Table: Evolusi ISIS[3]
Name | Year(s) | Leader |
Jammat at-Tawhid wal-Jihad | 1999–2004 | Abu Musab al-Zarqawi |
Al-Qaeda in Iraq/Al-Qaeda in the Land of Two Rivers | 2004–2006 | Abu Musab al-Zarqawi |
Majlis ash-Shura lil Mujahideen | 2006 | Abu Musab al-Zarqawi |
Islamic State of Iraq | 2006–2013 | Abu Omar al-Baghdadi |
Islamic State or Iraq and the Levant | 2013–2014 | Abu Bakr al-Baghdadi |
Islamic State | Present | Abu Bakr al-Baghdadi |
Kedua, dari persepsi membumi, seruan deklarasi Khilafah hanya lebih sekadar bersifat simbolik daripada mengubah situasi. Simbolik, karena ideologi dari IS memperhitungkan bahwa Khilafah adalah entitas yang merepresentasikan seluruh umat, sedangkan ‘Negara Islam’ yang ada hanya merepresentasikan muslim yang hidup di bawah yurisdiksinya, tepatnya, muslim diantara kota Raqqa di Suriah dan provinsi Diyala di Irak. Hal ini juga simbolik dari konsolidasi kekuatan dan pengaruhnya atas Al-Qaeda. Deklarasi ‘Khilafah’ yang secara historis merupakan simbol persatuan muslim hanya membawa keretakan dan perpecahan antara IS dan kelompok, individu, dan organisasi lain. Syaikh Abu Muhammad al-Maqdisi, pimpinan ideolog dan ulama jihadi, mentor lama dari Zarqawi, mencemooh deklarasi tersebut dengan menyatakan, “Kami akan tetap bersungguh-sungguh atas agama ini, melindunginya dari segala penyimpangan dan ekstrimisme dan orang-orang menyimpang lainnya. Apakah kalian yang memperbaiki diri (ISIS), bertaubat dan berhenti menumpahkan darah muslim dan menyimpangkan agama ini, atau kami akan melawanmu dengan lidah bagaikan pedang.”
Ketiga, jika tujuan dari mendeklarasikan penegakan formal Khilafah adalah untuk mengamankan persatuan dan pengakuan global, negara baru ini hanya menjadi paradoks ditengah reaksi global yang sama menolak dan terbukti malah memecah belah. Apa yang telah dikonsolidasikan oleh IS baik keamanan internal maupun eksternal (sebuah syarat bagi adanya Khilafah) menjadi pertanyaan saat sang Khalifah, dari semua orang, justru tidak bisa bergerak bebas di jalan-jalan di ibukotanya sendiri. Belum lagi bahwa Abu Bakar al-Baghdadi, tidak selayaknya para pendahulunya, memiliki figur yang misterius meskipun terdapat biografi satu halaman yang ambigu yang dipublikasikan oleh IS. Sembilan kelompok pemberontak besar di Suriah, Senin kemarin, membuat pernyataan penolakan akan ‘Khilafah’ baru, seperti yang telah dilakukan oleh tokoh dan gerakan Islam di seluruh dunia, baik di dalam maupun luar Suriah.
Keempat, mayoritas skeptisme berdasarkan pada peran ISIS pada pemberontakan di Suriah. Bukannya berperang melawan rezim al-Assad, ISIS justru berperang melawan kekuatan pemberontak dan mengambil alih wilayah yang sudah dikuasai apra pemberontak. ISIS mengadopsi taktik seperti meledakkan warga sipil di pasar-pasar, menculik orang-orang tidak bersalah untuk mendapatkan tebusan, dan eksekusi orang-orang dari kelompok Islam lain yang menyuarakan kritikan dan perbedaan pendapat politis. Penggambaran perang eksistensial mereka terhadap seluruh Syiah, pada masa lalu dan sekarang, membawa kutukan dan cercaan dari berbagai sudut. Pada pesan terbarunya, al-Baghdadi mengatakan: “Al-Qaeda ingin membentuk hubungan dengan kaum Syiah. Mereka berpikir bahwa kaum Syiah adalah saudara mereka meski mereka mengafirkan seluruh sahabat dan mempercayai bahwa al-Qur’an sudah tidak murni lagi. Tapi Al-Qaeda ingin membentuk hubungan dengan mereka. Saat ISIS mengambil alih sebuah kota, kalian tinggalkan Syiah atau mati. ISIS tidak bisa mengambil jizyah dari mereka. mereka adalah agama baru, jadi jizyah tidak bisa diambil dari mereka.”
Kelima, menyelenggarakan/administrasi pelayanan publik yang luas tidak termasuk pada membangun sebuah negara, dikarenakan hal ini membutuhkan negarawan yang tepat yang dapat mengembangkan dan mengimplementasi strategi jangka panjang dan pendek. Contoh sejenis dari ‘administrasi’ seperti ini adalah eksperimen Taliban, “Negara Islam” berumur pendek di Somalia, dan yang terbaru, “Emirat” di Mali. Lebih dari itu, ini bukan pertama kalinya afiliasi Al-Qaeda telah menguasai wilayah yang besar; kekuasaan mereka atas provinsi Anbar dinilai sebagai kegagalan, membawa pada kelahiran koalisi Sunni “Sahawi” yang menggiring “Negara Islam” kehilangan kekuatan. Kemampuan untuk mengambil alih bagian besar dari Irak dan Suriah tidak boleh disalah artikan sebagai simbiosis dari kekuatan gerakan-gerakan dan kemampuan untuk menantang keseimbangan kekuatan regional. “Negara Islam” ini tidak ikut campur dalam perang mati-matian melawan rezim Assad dan Hizbullah atau dengan Amerika (seperti kasus Al-Qaeda) tapi justru mengambil kebijakan untuk mengembangkan diri dalam wilayah yang entah sudah dibebaskan oleh kelompok lain atau wilayah yang penuh dengan kerusuhan dan berada di luar sekup kontrol Maliki atau Assad, misalnya Mosul. Dengan kata lain, kondisi dari “Negara Islam” terindikasi tidak mampu memberikan serangan balik nyata terhadap kekuatan politik regional. Singkatnya, “Negara Islam” adalah produk dari kekosongan keamanan yang tercipta dari konflik Suriah dan taktik toleransi Assad terhadap gerakan-gerakan pemberontak. Mengeksploitasi kekacauan telah terbukti menjadi strategi paling efektif bagi kelompok yang tidak bisa bergantung pada dukungan orang banyaj.
Dari perspektif strategi, pergeseran dari semi-negara Islam menjadi “Khilafah” berarti gerakan itu harus mengubah strateginya dan lebih fokus pada pembangunan institusi dan stabilisasi. Hal ini akan terbukti menjadi sangat sulit tanpa adanya dukungan orang banyak, baik di dalam maupun luar negeri, ketiadaan dari visi ekonomi-politik koheren yang lebih dari sekadar pelayanan urusan publik harian dan kerentanan militer dari gerakan tersebut pada setiap frontnya. Khilafah baru pun harus menghadirkan konstitusi atau kebijakan di bidang ekonomi, keamanan domestik, dan kebijakan luar negeri. Apa yang telah sangat cepat dipelajari oleh negara baru ini adalah memproklamasikan Khilafah melalui madia sosial adalah suatu hal dan benar-benar mendirikan Khilafah adalah hal yang sangat berbeda.