Saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman masa lalu. Anggap saja ini refleksi saya terkait HUT RI. Sewaktu kecil hingga usia SD atau SMP, peringatan HUT Kemerdekaan RI adalah momen yang selalu saya tunggu. Saat itu, saya paling tertarik dengan even karnavalnya. Hampir tiap tahun, saya tak pernah absen ambil bagian di dalamnya. Peran favorit saya adalah menjadi "pejuang 45" dengan ikat kepala merah putih dan menyandang bambu runcing.
Teman-teman seusia saya juga pada ikutan, ada yang jadi tentara, perawat, kartini kecil, dll lengkap dengan atributnya masing-masing. Ada juga yang menjadi badut. Lebih konyol lagi, ada yang jadi BANCI! Apa coba hubungan badut & banci dengan perjuangan kemerdekaan, haha. Bosen dengan peran pejuang 45, suatu waktu saya mengambil peran baru yang tak pernah ada sebelumnya, menjadi POCONG!
Asyik juga berperan sebagai pocong, bisa nakut-nakutin ibu-ibu dan anak-anak wanita, hihi. Sesekali saya keluar dari barisan mendekati penonton yang menyemut di sepanjang jalan. Sontak teriakan histeris bermunculan diselingi umpatan marah ketakutan. Entahlah, saat itu saya merasa senang. Namun, bukan respon penonton yang membuat saya senang ketika itu, melainkan respon panitia. Lho, kok bisa?
Karena pada karnaval itu saya dinobatkan sebagai Juara I Pemeran Terbaik! Bukan main bangganya saya saat itu. Padahal, lebih sulit lagi mencari hubungan antara pocong dan perjuangan kemerdekaan, hehe. Dalam lomba klasik, seperti lomba balap kerupuk, bakiak, panjat pinang, dll saya belum pernah jadi juara, huhu. Itulah di antara tambahan alasan, kenapa saya sangat terkesan dengan karnaval 17an.
Saat itu, yang saya tahu, Indonesia sudah merdeka, bebas dari segala bentuk penjajahan, hoho. Bukankah Portugis, Belanda, dan Jepang sudah hengkang dari negeri ini, pikir saya? Pantaslah kita merayakan hari kemerdekaan. Namun, kini di usianya yang ke-69, cita-cita kemerdekaan yang disebut dalam teks pembukaan UUD 45, belum kunjung terwujud.
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia KE DEPAN PINTU GERBANG kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur." Begitu di antara bunyi kalimat pada alinea pertama pembukaan UUD 45. Jadi, bangsa ini baru ada di DEPAN PINTU GERBANG kemerdekaan, belum masuk ke dalamnya.
Jika merdeka diartikan kebebasan penduduk yang mayoritas muslim untuk menjalankan ajaran agamanya secara murni dan konsekuen, jelas kita belum merdeka. Bahkan untuk sekedar anggota kepolisian muslimah bisa berkerudung saja, loba pepeletekan (istilah bahasa Sunda, artinya banyak tapi dan nantinya), seolah dipersulit. Dakwah penegakan syariah & khilafah tanpa kekerasan yang akan menghapuskan segala bentuk penjajahan pun kerap dicurigai dan dianggap ancaman.
Persatuan juga belum teruji, hanya 26 tahun sejak Timor Timur (Timtim) integrasi dengan NKRI pada 1976, dalam usianya yang belum genap 57 tahun, keutuhan wilayah negeri muslim terbesar di dunia ini terkoyak. Bukannya bertambah, wilayah NKRI malah berkurang. Pada 1999 di bawah kendali PBB dan AS, dilakukan referendum yang penuh rekayasa dan kecurangan. Hasilnya mayoritas warga Timtim menghendaki "cerai" dengan NKRI. Satu provinsi di bagian timur itu pun akhirnya lepas dan resmi merdeka pada 2002.
Tentang kedaulatan, negeri ini masih belum berdaulat, korporasi-korporasi asing masih leluasa mengontrol & mengeksploitasi kekayaan alam, terutama sektor pertambangan & energi (emas, minyak, dan gas). Kontrak PT Freeport terus diperpanjang, padahal jelas-jelas merugikan. Penguasaan Blok kaya minyak Cepu malah diserahkan pada Exxon Mobile, bukannya kita punya Pertamina? Tragisnya, semua eksploitasi ini legal atas nama perundangan yang ada.
Jangan tanya soal keadilan & kesejahteraan. Kesetaraan di depan hukum baru sebatas mimpi. Hukum berlaku seperti golok, tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Subsidi untuk rakyat terus dikurangi, sementara subsidi untuk konglomerat, melalui BLBI misalnya, terus dikucurkan. Rakyat dipaksa bayar aneka pajak, bahkan untuk sekedar makan bakso. Berita korupsi pejabat tak pernah hilang dari pemberitaan media. Kesenjangan si kaya dan si miskin justru semakin menganga.
Seandainya tidak ada dakwah politik yang menyasar saya, tentu hingga kini saya masih berasyik masuk mengambil peran dalam karnaval HUT RI dan mungkin dengan peran yang lebih konyol lagi. Itu karena saya mungkin masih menyangka negeri ini sudah benar-benar merdeka. Dakwah politik telah mencerahkan dan menyadarkan saya, bahwa meriahnya peringatan kemerdekaan seringkali meninabobokan dan membuat rakyat melupakan kenyataan: negerinya masih terjajah.
Adakah kecerobohan yang lebih hebat daripada orang yang merasa sudah merdeka, tetapi secara hakikat masih terjajah? Orang ini akan larut dalam kegembiraan semunya beberapa saat, lalu tiba-tiba tersentak kaget begitu sadar bahwa diri & negerinya tengah dieksploitasi dalam rentang waktu yang panjang dan bahwa selama ini para penjajah terus berusaha menumpulkan akal sehatnya demi langgengnya penjajahan mereka.
Edukasi politik yang digandengkan dengan edukasi ruhiyah oleh partai/kelompok dakwah di tengah-tengah masyarakat merupakan hal yang vital. Dengan cara ini, rakyat akan menyadari fakta keterjajahan mereka, mencari fakta ideal yang dituntut oleh akidah mereka (hingga jelas tergambar di benaknya) yang akan menggantikan fakta rusak saat ini, lalu terlibat dalam proyek besar perjuangan mewujudkannya.
(geri Ahmadi)
Teman-teman seusia saya juga pada ikutan, ada yang jadi tentara, perawat, kartini kecil, dll lengkap dengan atributnya masing-masing. Ada juga yang menjadi badut. Lebih konyol lagi, ada yang jadi BANCI! Apa coba hubungan badut & banci dengan perjuangan kemerdekaan, haha. Bosen dengan peran pejuang 45, suatu waktu saya mengambil peran baru yang tak pernah ada sebelumnya, menjadi POCONG!
Asyik juga berperan sebagai pocong, bisa nakut-nakutin ibu-ibu dan anak-anak wanita, hihi. Sesekali saya keluar dari barisan mendekati penonton yang menyemut di sepanjang jalan. Sontak teriakan histeris bermunculan diselingi umpatan marah ketakutan. Entahlah, saat itu saya merasa senang. Namun, bukan respon penonton yang membuat saya senang ketika itu, melainkan respon panitia. Lho, kok bisa?
Karena pada karnaval itu saya dinobatkan sebagai Juara I Pemeran Terbaik! Bukan main bangganya saya saat itu. Padahal, lebih sulit lagi mencari hubungan antara pocong dan perjuangan kemerdekaan, hehe. Dalam lomba klasik, seperti lomba balap kerupuk, bakiak, panjat pinang, dll saya belum pernah jadi juara, huhu. Itulah di antara tambahan alasan, kenapa saya sangat terkesan dengan karnaval 17an.
Saat itu, yang saya tahu, Indonesia sudah merdeka, bebas dari segala bentuk penjajahan, hoho. Bukankah Portugis, Belanda, dan Jepang sudah hengkang dari negeri ini, pikir saya? Pantaslah kita merayakan hari kemerdekaan. Namun, kini di usianya yang ke-69, cita-cita kemerdekaan yang disebut dalam teks pembukaan UUD 45, belum kunjung terwujud.
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia KE DEPAN PINTU GERBANG kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur." Begitu di antara bunyi kalimat pada alinea pertama pembukaan UUD 45. Jadi, bangsa ini baru ada di DEPAN PINTU GERBANG kemerdekaan, belum masuk ke dalamnya.
Jika merdeka diartikan kebebasan penduduk yang mayoritas muslim untuk menjalankan ajaran agamanya secara murni dan konsekuen, jelas kita belum merdeka. Bahkan untuk sekedar anggota kepolisian muslimah bisa berkerudung saja, loba pepeletekan (istilah bahasa Sunda, artinya banyak tapi dan nantinya), seolah dipersulit. Dakwah penegakan syariah & khilafah tanpa kekerasan yang akan menghapuskan segala bentuk penjajahan pun kerap dicurigai dan dianggap ancaman.
Persatuan juga belum teruji, hanya 26 tahun sejak Timor Timur (Timtim) integrasi dengan NKRI pada 1976, dalam usianya yang belum genap 57 tahun, keutuhan wilayah negeri muslim terbesar di dunia ini terkoyak. Bukannya bertambah, wilayah NKRI malah berkurang. Pada 1999 di bawah kendali PBB dan AS, dilakukan referendum yang penuh rekayasa dan kecurangan. Hasilnya mayoritas warga Timtim menghendaki "cerai" dengan NKRI. Satu provinsi di bagian timur itu pun akhirnya lepas dan resmi merdeka pada 2002.
Tentang kedaulatan, negeri ini masih belum berdaulat, korporasi-korporasi asing masih leluasa mengontrol & mengeksploitasi kekayaan alam, terutama sektor pertambangan & energi (emas, minyak, dan gas). Kontrak PT Freeport terus diperpanjang, padahal jelas-jelas merugikan. Penguasaan Blok kaya minyak Cepu malah diserahkan pada Exxon Mobile, bukannya kita punya Pertamina? Tragisnya, semua eksploitasi ini legal atas nama perundangan yang ada.
Jangan tanya soal keadilan & kesejahteraan. Kesetaraan di depan hukum baru sebatas mimpi. Hukum berlaku seperti golok, tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Subsidi untuk rakyat terus dikurangi, sementara subsidi untuk konglomerat, melalui BLBI misalnya, terus dikucurkan. Rakyat dipaksa bayar aneka pajak, bahkan untuk sekedar makan bakso. Berita korupsi pejabat tak pernah hilang dari pemberitaan media. Kesenjangan si kaya dan si miskin justru semakin menganga.
Seandainya tidak ada dakwah politik yang menyasar saya, tentu hingga kini saya masih berasyik masuk mengambil peran dalam karnaval HUT RI dan mungkin dengan peran yang lebih konyol lagi. Itu karena saya mungkin masih menyangka negeri ini sudah benar-benar merdeka. Dakwah politik telah mencerahkan dan menyadarkan saya, bahwa meriahnya peringatan kemerdekaan seringkali meninabobokan dan membuat rakyat melupakan kenyataan: negerinya masih terjajah.
Adakah kecerobohan yang lebih hebat daripada orang yang merasa sudah merdeka, tetapi secara hakikat masih terjajah? Orang ini akan larut dalam kegembiraan semunya beberapa saat, lalu tiba-tiba tersentak kaget begitu sadar bahwa diri & negerinya tengah dieksploitasi dalam rentang waktu yang panjang dan bahwa selama ini para penjajah terus berusaha menumpulkan akal sehatnya demi langgengnya penjajahan mereka.
Edukasi politik yang digandengkan dengan edukasi ruhiyah oleh partai/kelompok dakwah di tengah-tengah masyarakat merupakan hal yang vital. Dengan cara ini, rakyat akan menyadari fakta keterjajahan mereka, mencari fakta ideal yang dituntut oleh akidah mereka (hingga jelas tergambar di benaknya) yang akan menggantikan fakta rusak saat ini, lalu terlibat dalam proyek besar perjuangan mewujudkannya.
(geri Ahmadi)