
Ada yang sering lupa diceritakan oleh buku-buku sejarah, jika beliau ini dekat sekali dengan Islam. Hampir semua orang tahu jika Pak Dirman adalah orang yang sholih dan taat beragama. Hingga oleh para anak buahnya biasa disapa Kajine, istilah Jawa untuk panggilan Pak Haji. Padahal beliau belum pernah ke Mekkah. Dalam perjalanan gerilya, setiap mampir di pedesaan atau kampung, Pak Dirman selalu menyelenggarakan pengajian. Tiap malam, walau ia tengah menderita penyakit paru-paru yang kronis, Pak Dirman selalu menunaikan solat tahajud. Pak Dirman dulunya berasal dari keluarga santri.
Dalam rangka mengobarkan semangat jihad di kalangan tentara dan masyarakat, Pak Dirman erat menjalin hubungan kerja sama dengan pesantren-pesantren. Sebagai contoh, pada waktu pertempuran di Magelang, kemudian di Ambarawa, Pak Dirman sering ada di Payaman (sebelah utara Magelang) dan bekerja sama dengan pondok pesantren yang dipimpin Kyai Siraj. Pondok Pesantren ini banyak menggiring santrinya untuk berjihad dalam pertempuran Ambarawa.
Bukti lain Pak Dirman dekat dengan perjuangan Islam adalah pada pertengahan tahun 1946, beliau mengunjungi laskar Hisbullah-Sabilillah Surakarta yang sedang mempersiapkan kembali maju ke medan perang di Alas Tuo dan Bugen. Waktu itu diadakan pertemuan di rumah Kyai H. Adnan di Tegalsari, Surakarta. Kedatangan sang jeneral besar kontan makin nambah semangat juang anggota Hisbullah-Sabilillah yang tengah bersiap berangkat ke medan perang. Jenderal Besar Sudirman mengawali kata sambutannya dengan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an surah Ash-Shaf ayat 10-12 yang kemudian diterjemahkannya sendiri: ‘Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelematkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu, kamu yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwamu…”
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jenderal Sudirman sedang sakit, tetapi ia menapik saran Presiden untuk tetap tinggal dalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpin perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama penyakitnya sering kambuh dan tidak tersedianya obat-obatan. Coba tuh, betapa lengkapnya kan perjuangan dan pengorbanan beliau ini.
Pulang dari medan gerilya, karena masih sakit, ia tidak dapat memimpin Angkatan Perang secara langsung, tetapi buah pemikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah.
Pengalima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Pak Dirman juga selalu menanamkan kepada tiap anak buahnya sikap hidup “Hidup mulia atau mati syahid” (“Isy Kariimah Aumut Syahidan”) dalam setiap pidatonya. Ayat-ayat Qur’an idolanya adalah ayat-ayat Qur’an yang banyak mengandung kata “Jihad” seperti surah Ash-Shaff ayat 10 dan 11 serta surah al-Baqarah ayat 154. Jenderal Sudirman juga sering meneriakkan takbir “Allahu Akbar!” saat memimpin peperangan.
x