Amal Yang Laksana Debu


Debu

KH. Abdul Wahid Alwi, MA
Wakil Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).


Ada perkara yang cukup serius dan hal ini berkaitan dengan aqidah Islamiyah. Masalah ini sering kali muncul dalam forum pengajian dan diskusi keislaman di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil seluruh Indonesia. Masalah ini harus dicermati dengan baik karena hal ini menyangkut soal yang sangat fundamental dalam ajaran Islam yakni  bangunan fondasi bagi umat Islam yang paling mendasar, yakni menyangkut aqidah. Masalah apa ini ?

Perkara serius itu adalah pendapat yang mengatakan bahwa amal baik, amal shaleh bisa saja dilakukan oleh siapa saja. Peserta atau forum pengajian dan diskusi Keislaman akan dibuat bimbang karena di kalangan pemberi materi yang terdiri tokoh Islam liberal dan penganut Islam pembaharuan, menyatakan dengan enteng bahwa siapapun orangnya, apapun agamanya, kalau dia berbuat amal yang baik, pasti akan mendapat imbalan dari Allah Swt di akherat dan berhak mendapatkan Surga. Pendapat kaum Pembaharu agama ini dilontarkan dengan mengagung-agungkan otak belaka. Padahal kalau dirunut ke belakang, bahwa apa yang dikatakan golongan yang menamakan Pembaharu agama itu bukanlah hal yang baru, tapi sudah diungkapkan filosof Yunani, seperti Socrates yang selalu mengagung-agungkan otak manusia di atas segala-galanya. Golongan Pembaharu agama ini hanyalah melanjutkan pemikiran kuno filosof Yunani. Jadi tidak ada yang istimewa.

Namun demikian, cara pandang seperti itu menjadi sangat berbahaya jika dikaitkan dengan aqidah Islamiyah, khususnya bisa menggoyahkan penganut Islam yang belum matang atau sedang menuju kematangan menghayati ajaran Islam. Memang dalam ajaran Islam tidak dilarang para pemeluk Islam untuk terus mempelajari  ajaran Islam menggunakan otaknya. Akan tetapi bagi orang yang beriman, otak itu tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, ia harus dibimbing dengan wahyu, sehingga dengan cara itu seseorang  akan terbebaskan oleh hawa nafsunya. Lagi pula semata-mata hanya mengandalkan otak saja yang dijadikan pegangan, maka hal ini pun akan mendatangkan ketidakpastian dan kebingungan bagi manusia itu sendiri di dalam menentukan otak siapa yang yang paling layak dijadikan panduan. Apakah otak orang Inggris, Amerika, Afrika dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, sebagai orang beriman Islam tidak ada pilihan lain kecuali dalam memahami sesuatu dalam masalah aqidah  hendaknya kembali kepada  Wahyu dari Allah Ta’ala dan Sunnah Rasulullah Saw. Berkaitan dengan masalah ini, Al Quran dengan jelas, tegas dan tuntas menjawabnya di antaranya dalam Surah Al Furqan ayat 23, di mana Allah Swt menegaskan : “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (orang kafir), lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”

Selanjutnya dalam Surah An Nur ayat 39, Allah Ta’ala juga menegaskan : “Dan orang-orang kafir, amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatkan sesuatu apapun.”

Begitu juga dalam Surah Ibrahim ayat 18, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa:”Orang-orang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti debu yang ditiup angin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.”

Bersamaan dengan itu tampak juga adanya kesengajaan dari mereka dengan menafsirkan ayat-ayat Al Quran dengan tidak menggunakan metodologi baku sebagaimana dilakukan para Salafusshaleh di dalam menafsirkan ayat Al Quran. Misalnya dalam menafsirkan Surah Al Baqarah ayat 62, mengenai kedudukan amalan orang Yahudi, Nasrani dan Shobi’i. Mereka berpendapat, sesuai dengan bunyi ayat tersebut, bahwa amalan orang Yahudi, Nasrani, dan Shobi’I akan mendapat pahala dari Allah sejauh mereka beriman kepada Allah, beriman kepada Hari Kemudian dan beramal shaleh. Pendapat ini jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena di dalam memahami satu ayat Al Quran harus merujuk kepada ayat lain. Misalnya saja dalam Surah Al Baqarah ayat 62 itu, kata beriman harus dirujuk ke ayat lain, tidak bisa hanya menggunakan ayat itu satu-satunya tanpa melihat ayat lain.

Adapun rujukan tentang orang-orang beriman, ayatnya bertebaran di banyak Surah di dalam Al Quranul Karim. Di antaranya di dalam Surah Al Anfal ayat 2-4, Allah menegaskan ciri-ciri orang yang beriman adalah : Pertama, apabila disebut Nama Allah Ta’ala orang tersebut bergetar hatinya; Kedua, apabila dibacakan ayat-ayat Allah Ta’ala bertambahlah imannya; Ketiga melaksanakan shalat; Keempat menafkahkan hartanya di Jalan Allah Ta’ala. Kini pertanyaannya adalah orang seperti Benyamin Netanyahu (Yahudi), George Bush (Nasrani), dan yang lainnya bergetarkah hatinya ketika Nama Allah Ta’ala disebutkan? Bertambahkah iman mereka ketika dibacakan Al Qur’an. Shalatkah mereka, dan berinfakkah mereka Di Jalan Allah Swt ?

Kemudian dalam ayat-ayat lain, misalnya dalam Surah Al Hujurat ayat 15, Allah Ta’ala menegaskan ciri orang yang beriman, yaitu beriman kepada Allah Swt dan Rasul-nya yakni Nabi Muhammad Saw, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada Jalan Allah Ta’ala, mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Pertanyaannya lagi, apakah orang Yahudi, Nasrani, dan Shobi’I itu beriman kepada Nabi Muhammad Saw ?

Dari dalil-dalil di atas dapat dipastikan bahwa pendapat orang (Liberal dan pembaharu Islam) itu yang mengatakan amal baik orang kafir itu ada nilainya kelak  di kemudian hari Di Sisi Allah Swt, jelas bertentangan dengan dalil Al Quran, dan di saat yang sama juga sangat membahayakan aqidah umat Islam. Untuk itu berhati-hatilah. []